Sabtu, 26 November 2011

jawa dan madura

Midodareni Adat Jawa

Dalam foto ini menggambarkan penyerahan pisang sanggan. Pisang sanggan sendiri dapat diartikan, Arti Nominal : Buah pisang raja yang diletakkan di nampan yang dihias dengan daun pisang, yang kemudian diserahkan oleh pihak pengantin pria kepada pihak pengantin wanita. Yang terdiri dari: buah pisang raja satu tangkep, suruh ayu, gambir, kembang telon, dan lawe wenang.
· Makna : Pisang sanggan terdiri dari dua kata yaitu pisang dan sanggan. Pisangmengandung arti “jenis buah-buahan” dan sanggan yang berarti “segala hal untuk menyangga” (Poerwadarminta, 1939:543). Sanggan pada umumnya dikenal dengan tebusan. Suruh ayu, berasal dari dua kata suruh berarti “daun sirih” dan ayu berarti “cantik”. Daun sirih harus dalam kondisi yang baik, mengandung maksud daunnya masih utuh dan segar. Suruh ayu mempunyai makna simbolis ketika menjadi pengantin, hendaknya terlihat segar dan menarik. Segar dan menarik menyimbolkan kebahagiaan. Daun sirih yang digunakan harus yang temu ros “bertemu ruasnya” hal ini melambangkan bahwa sepasang pengantin dipertemukan dahulu. Gambir merupakan kelengkapan dalam menginang, gambir digunakan supaya rasanya semakin mantap. Makna simbolik penggunaan gambir dalam upacara panggih melambangkan kemantapan. Orang yang sudah siap untuk menikah berarti sudah mantap dengan pilihannya. Kembang telon terdiri dari tiga macam bunga terpilih diantara bunga yang lain, yaitu mawar, melati dan kantil. Dipilih tiga macam bunga tersebut mempunyai makna simbolik bahwa ketiga bunga tersebut merupakan bunga yang menjadi raja di taman. Nama bunga ini jika dikeratabasakan menjadi “apa kang binawar (mawar) saking kedaling lathi (mlathi) bisa kumanthil-kanthil ing wardaya”. Artinya “apa yang dinasihatkan oleh orang tua hendaknya selalu dapat diingat oleh calon mempelai”. Lawe wenang, terdiri dari dua kata lawe berarti benang lembut yang akan ditenun (Poerwadarminta, 1939:263). Wenang berarti “bisa atau dapat” (Poerwadarminta, 1939: 660). Lawe wenang merupakan uba rampe pisang sanggan dalam upacara panggih.Lawe wenang digunakan untuk mengikat lintingan daun sirih. Ikatan lawe wenang ini mempunyai makna simbolik ikatan pernikahan. Dipilih benang yang berwarna putih mempunyai makna simbolik suci. Lawe Wenang mempunyai makna simboloik bahwa pernikahan merupakan ikatan yang lembut dan suci, lalu dilanjutkan oleh penyerahan hantaran lainnya. Dilanjutkan oleh tirto wening yang berarti kedua orang tua calon pengantin menerima calon mempelai pria ditengah-tengah keluarga mereka.
 Dan dilanjutkan oleh penyerahan catur laksitatama atau catur wedha yang berarti catur wedha/catur sabda adalah wedangan yang diberikan oleh calon bapak mertua/atau bapak calon pengantin wanita terhadap calon pengantin pria pada malam midodareni. Catur wedha atau catur sabda dibacakan teksnya didepan tamu undangan. Setelah selesai dibaca, teks tersebut ditandatangani oleh calon pengantin wanita kemudian diserahkan kepada calon pengantin pria.
penulis : Aqsalicious

Kearifan Lokal Masyarakat Madura Dalam Mengkonservasi Tumbuhan Obat

Oleh : Budi Purwantiningsih

Masyarakat Madura telah lama mempraktekkan tumbuhan sebagai obat tradisional atau yang lebih sering disebut “jamu”. Secara umum minum jamu yang diracik dari tumbuh-tumbuhan telah menjadi kebisaan keluarga dan masyarakat Madura, khususnya yang masih berdarah biru (keturunan dan kerabat raja) (Handayani, 2003). Kebiasaan minum jamu yang begitu melekat ini telah menimbulkan suatu prinsip “lebih baik tidak makan daripada tidak minum jamu” (Rifa’i, 2000). Berdasarkan bentuknya, jamu Madura sebagaimana jamu yang dibuat di Pulau Jawa dapat dikelompokkan menjadi lima macam jamu, yaitu: Jamu Segar. (2) Jamu Godokan. (3) Jamu Seduhan.  Dan (4) Jamu Oles.
                Menurut Handayani (2003) umumnya ramuan Madura mengandung banyak resep untuk keperluan menjaga kesehatan misalnya : jamu perawatan tubuh, jamu pasca melahirkan, jamu mengencangkan payudara, mempertahankan samina, jamu rapat, dan lain-lain. Adapun tumbuhan-tumbuhan yang sering digunakan masyarakat Madura adalah daun Jahe (Zingiber officinale), pinang muda (Areca catechu), bunga padma (Rafflesia zollingeriana), sirih (Piper betle), adas (Foeniculum vulgare), pulasari (Alyxia reindwardti), jintan putih (Cumimum cyminum), pala (Myristica fragrans), pepaya gantung (Carica papaya), pegagan (Centella asiatica), dan srikaya (Annona squamosa), sirih (Piper betle), temu kunci (Boesenbergia pandurata), kunci pepet (Kaempferia angustifolia), kayu rapat (Parameria laevigata), kulit buah delima (Punica granatum) dan lain-lain. (Rifa’i, 2000).
                Menurut Rifa’i (2000), pada zaman dahulu potensi pengetahuan akan racikan tumbuhan obat ini didukung dengan tersedianya berbagai macam tumbuhan yang biasa menjadi tanaman pekarangan masyarakat, akan tetapi sekarang ini, tumbuh-tumbuhan tersebut keberadaannya menjadi sangat sulit ditemukan atau menjadi liar seiring dengan keengganan masyarakat untuk memanfaatkan dan menanamnya. Hilangnya pengetahuan pribumi dikhawatirkan lebih cepat dibandingkan dengan menyusutnya keanekaragaman hayati tumbuh-tumbuhannya sendiri (Purwanti, 2001). Apabila hal ini dibiarkan terus-menerus, maka dikhawatirkan kepunahan tidak hanya terjadi pada tumbuhannya saja, akan tetapi pengetahuan tentang tumbuhan obat pada masayarakat Madura tersebut akan punah pula.
Kebutuhan industri obat tradisional yang cukup besar terhadap tumbuh-tumbuhan tersebut juga telah mengakibatkan eksplorasi terus-menerus dan mengancam keberadaannya, sehingga perusahaan obat tradisional di Indonesia diperoleh dari upaya pengambilan dari hutan dan pekarangan tanpa adanya upaya untuk membudidayakannya.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan suatu konsep pengelolaan pemanfaatan tumbuhan obat dengan tujuan untuk dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dalam aspek pengobatan dan juga peningkatan ekonomi. Apabila masyarakat telah mendayagunakan tumbuh-tumbuhan obat tersebut, maka secara tidak langsung masyarakat juga akan menjaga keberadaan tumbuhan obat di sekitar lingkungan mereka.
Analisis Swot Kearifan Lokal  Masyarakat Madura Dalam Mengkonservasi Tumbuhan Obat
1. Kekuatan (Strengths)
Kekuatan pada aspek sumber daya dan etnobotani terletak pada kekayaan pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan jamu dan nilai multiguna tumbuhan obat itu sendiri. Pada aspek ekonomi, kekuatan terletak pada tingginya kontribusi pendapatan upaya budidaya tanaman obat terhadap pendapatan total petani, kontribusi pengolahan jamu oleh jamu gendong sebesar, dan pengusaha IKOT sebesar. Aspek kelembagaan dalam pengolahan jamu adalah dibentuknya Paguyuban Jamu Tradisional Madura serta dukungan pemerintah daerah seperti Dinas Perekonomian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi, dan Dinas Kesehatan diharapkan mampu mengangkat jamu Madura sebagai salah satu ujung tombak penggerak perekonomian lokal.
2. Kelemahan (Weaknesses)
Dari aspek sumber daya antara lain penguasaan teknologi budidaya tanaman obat oleh petani masih sangat rendah, lemahnya modal untuk pengembangan pengusahaan tanaman obat dan produk jamu,  sebagian besar bahan baku jamu Madura masih harus didatangkan dari luar Pulau Madura. Dari aspek etnobotani, sistem pewarisan pengetahuan tentang tumbuhan obat dan tatacara meracik jamu pada sebagian masyarakat masih tertutup. Faktor kelembagan lokal di tingkat petani masih lemah dan sebagian lagi belum berfungsi. Dalam aspek kebijakan, belum adanya strategi dan kebijakan operasional yang terpadu dan menyangkut keseluruhan kegiatan agribisnis/agroindustri tumbuhan obat.
3. Peluang (Oppurtunies)
Berdasarkan aspek sumberdya kecenderungan konsumen global, nasional maupun lokal untuk kembali ke alam (back to nature). Berdasarkan aspek ekonomi, potensi pasar lokal dan luar yang sedang berkembang dapat menjadi peluang untuk pengembangan jamu Madura. Preferensi sebagian besar masyarakat Kabupaten Pamekasan terhadap jamu dapat menjadi peluang bagi industri jamu di Kabupaten dalam rangka memenuhi permintaan pasar lokal. Komitmen pemerintah Kabupaten Pamekasan untuk menjadikan beberapa komoditas tumbuhan obat dan jamu Madura sebagai produk unggulan lokal merupakan peluang yang sangat prospektif dalam pengusahaan tumbuhan obat dan produknya.
4. Ancaman (Threats)
Dari aspek sumberdaya semakin berkurangnya atau semakin langkanya bahan baku jamu yang didatangkan dari luar Pulau Madura. Dari aspek ekonomi, masuknya berbagai macam jamu yang diproduksi oleh perusahaan besar seperti Sidomuncul, Jamu Iboe, dan lain-lain dapat menjadi ancaman dalam pengembangan jamu lokal. Dari aspek sosial budaya, ancaman terletak pada pengaruh budaya luar/asing yang melunturkan budaya daerah contohnya
kecenderungan pemanfaatan jamu yang sudah dimulai ditinggalkan oleh kaum muda. Dari aspek kebijakan, program pemerintah daerah yang belum terencana secara terpadu dan terkesan sektoral hanya menghambur-hamburkan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) sehingga sulit untuk mengharapkan PAD dari agroindustri tumbuhan obat ini.
 Usaha dan Strategi Pengelolaan Tumbuhan Obat di Madura
Langkah-langkah yang dapat diambil diantaranya:
1.       Aspek sumber daya
Melakukan kajian intensif disertai dengan pembudidayaan intensif melalui optimalisasi fungsi pekarangan dan lahan pertanian lainnya. Disamping itu memanfaatkan informasi pasar yang berkembang baik di tingkat lokal maupun luar daerah sehingga akan memberikan motivasi bagi petani untuk membudidayakannya, yang secara tidak langsung menjaga ketersediaan bahan jamu Madura.
2.       Aspek Ekonomi
Kegiatan budidaya TO yang dilakukan oleh petani maupun pembuatan jamu yang dilakukan oleh pengusaha IKOT memerlukan kemitraan yang tepat agar dapat berkembang. Pusat inkubator agribisnis, kelembagaan desa, Pemkab, dan Universitas setempat harus berkewajiban memberikan dukungan insentif guna mendorong motivasi kelanjutan usaha TO dengan memberdayakan KUD.
3.       Aspek Sosial Budaya
Penguatan kelembagaan lokal dilakukan dengan membentuk kader-kader kelompok tani dan pengusaha jamu dengan melibatkan tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat lokal. Organisasi kemasyarakatan seperti karang taruna, aliansi kepemudaan, PKK, kelompok-kelompok swadaya masyarakat dapat difungsikan sebagai sarana komunikasi dan upaya transfer tekno-ekonomi.
Daftar Pustaka:
Handayani, L. (2003). Membedah Rahasia Ramuan Madura. Agromedia Pustaka.
Rifa’i, M.A. (2000). Pingit, Pijet dan Pepahit: Peran Tumbuhan dalam Kosmetik Tradisional Indonesia seperti Dicerminkan di Daerah Madura.
Purwanti, U. (2001). Pengembangan Tumbuhan Obat Berbasis Masyarakat di Pulau Madura. Program Warta KEHATI Edisi Januari 2001.

1 komentar: